<body>
Rambut di Kepala
Saturday, May 20, 2017 @10:25 AM



Akhir-akhir ini otak saya dibebani pikiran tentang hijab. Sebenarnya apa makna hijab? Seberapa jauh perannya dalam pemenuhan syariat Islam?
Saya kira kebanyakan orang kini telah paham bahwa aurat bagi wanita tidak hanya sekedar rambut, meski rambut adalah hal terawan. Kita punya bagian tubuh lain yang perlu ditutupi. Dan fakta bahwa hampir seluruh tubuh kita ditumbuhi rambut tidak dapat dimungkiri. Karenanya sangat masuk akal apabila rambut yang tumbuh di kepala kita ini tergolong aurat.
Namun apabila boleh sedikit menilai, saya rasa masih banyak yang  memprioritaskan rambut yang tumbuh di kepala. Saya juga tahu, saya salah satunya. Masih sering saya mengoptimalkan agar rambut di kepala saya tertutup sempurna, tetapi tidak menutup bagian yang lainnya.
Hanya saja agaknya lebih banyak yang tidak lebih sadar daripada saya. Kadang saya suka risih pada mereka yang berjilbab, yang memandang rendah mereka yang tidak mengerudungi kepala mereka. Bukankah ini semua tidak hanya tentang rambut? Seremeh itukah makna berhijab hingga menjadi takaran penilian sekali pandang?
Bagaimana dengan kita yang membiarkan punggung kaki tanpa kaos kaki? Atau punggung tangan tanpa deker? Apa dosanya akan lebih ringan? Berhakkah kita berpikir demikian?

Tentu saya sangat benci bila harus mengakui pernyataan tentang hijab sebagai mode. Yang demikian itu membuat saya bertanya-tanya, mungkinkah jika saya hidup dua puluh tahun lebih awal, kesadaran berhijab belum menyentil saya? Mungkinkah saya korban mode? Ataukah ini sekedar keberhasilan orang tua saya dan pengaruh lingkungan? Pernyataan pesimistis semacam itu kerap mengganggu saya. Dan saya yakin yang demikian juga sempat terpikir di benak sebagian yang memilih berhijab karena begitulah yang harus terjadi di lingkungannya. Sama halnya dengan pernyataan yang baru-baru ini menjadi viral, tentang seorang perempuan yang mengaku bahwa Islam baginya hanyalah bawaan dan bukan pilihan. Saya hampir yakin pernyataan seperti itu terikrarkan akibat kecemasan yang terlintas setelah  pengambilan kesimpulan oleh masa. Kesimpulan itu terupgrade dengan sendirinya menuruti idealisme subjek.

Menghadapi hal ini, saya rasa yang paling dibutuhkan adalah pembenahan presepsi. Hal ini hanya dapat terjadi apabila bahan yang dibutuhkan untuk membenahi cukup banyak, hingga makin mantap lah kriteria baik buruk yang kita libatkan. Maka pengetahuan menjadi sangat penting. Pemikiran kita tidak bergantung pada presepsi banyak orang, kesimpulan masa. Kita dapat memilih dan menyimpulkan sendiri sesuai bahan yang kita miliki. Sehingga tidak ada keragu-raguan karena kita sendiri yang menyimpulkan.

Apabila hal ini dikaitkan dengan hijab, maka kita harus terlebih dahulu mengerti definisi hijab. Kita harus paham mengapa ada penganjuran (bahkan kewajiban) berhijab. Daripada memukul rata seluruh penggunaan hijab sebagai mode dan bukan untuk memenuhi aurat, alangkah baiknya apabila kita bersikap lebih teliti dan membersihkan otak kita dari presepsi yang bersifat stereotip. Hijab tidak hanya soal rambut. Hijab berarti penghalang yang menutupi aurat kita dari pandangan orang yang bukan muhrim. Saya rasa mudah sekali memahami hal ini. Maka seharusnya kita berhati-hati dalam membedakan hal ini dengan kerudung atau khimar. "Saya sudah berkerudung" tentu berbeda dengan "Saya sudah berhijab." Kerudung lebih difungsikan untuk menutup kepala sementara hijab berarti menutup keseluruhan aurat yang dimiliki. Islam mewajibkan kita untuk menutupi aurat, tidak hanya kepala. Maka wajiblah bagi setiap muslim untuk berhijab, bukan sekedar berkhimar apalagi berkerudung. Lalu mengapa begitu khawatir saat sehelai rambut terlihat tetapi sama sekali tidak peduli bila jari-jari kaki terbuka?

Pernah suatu kali saya ditegur teman saya karena terpaksa mengambil wudhu di salah satu mall dengan tempat wudhu yang memang cukup terbuka. Saya sadar laki-laki banyak yang lalu lalang di belakang saya. Tapi saat itu saya tidak punya pilihan lain. Kamar mandi penuh sesak dan adzan Ashar sudah dekat. Posisi saya mengejar Dhuhur. Teman saya juga sama keadaannya dengan saya. Ia berwudhu di sebelah saya. Yang membedakan adalah frekuensi terbukanya jilbab kami pada saat itu. Ia hanya membuka peniti yang mempererat jalinan kerudung tanpa menggesernya lebih jauh. Saya menggeser kerudung saya dengan sempurna, maksud saya agar tidak basah terkena air karena memang rambut saya panjang sekali. Yang saya dengar, dalam berwudhu, paling tidak rambut di kepala basah sebanyak sehelai. Lalu teman saya mengatakan tidak perlu saya membuka sejauh itu, banyak laki-laki yang melihatnya.
Lalu bagaimana dengan lengan baju saya yang juga tersingkap hingga melewati siku? Dan kaki saya yang terbuka hingga mata kaki? Mengapa saya tidak mendapat komentar tentang itu?

Saya tahu yang saya lakukan sama sekali bukanlah hal yang tepat. Tapi bagi saya sikap teman saya juga kurang hati-hati. Saya tidak berusaha mencari pembenaran atas kesalahan saya, tetapi hal itu membuat saya berpikir presepsi orang kebanyakan mengenai hijab saat ini memang benar-benar hanya menutupi rambut. Seakan-akan aurat perempuan hanyalah rambut. Dengan demikian saya rasa tidak salah apabila saya menyimpulkan kebanyakan dari kita masih belum menerapkan konsep beramal dengan ilmu.


Maka, Berpikirlah Rasional
Friday, February 3, 2017 @7:09 AM



Akhir-akhir ini terlalu banyak hal yang membuat saya berpikir dua kali. Saya suka sekali menilai diri saya meskipun tahu hal tersebut tidak patut dilakukan. Termasuk pada kasusmu, saya perlu mengoreksi kembali kesimpulan saya dulu.

Maaf, seperti yang kamu kira, saya memang menyukai kamu. Terlepas dari elemen rohaniah yang sudah terlalu sering saya bawa-bawa untuk melepaskan perasaan suka ini dari hati saya, saya tidak pernah benar-benar membencimu. Dan itu justru yang lebih saya benci. Saya benci perasaan suka saya – yang selama ini tidak pernah saya ikrarkan karena berpikir hanya akan membuat saya tersiksa. Asal kamu tahu, segala perasaan saya akan resmi ada apabila dituliskan. Karenanya tulisan ini adalah suatu peresmian yang baru. Yang saya akui.

Hahaha, lihatlah betapa bodohnya saya. Saya selalu seperti ini. Tidak tahu lagi saya mana yang sedang bekerja, otak atau hati. Mungkin tes kepribadian online yang saya isi dengan paksaan orang dekat saya saat itu dapat dipercaya juga. Katanya  saya adalah orang yang bekerja dengan rasa. Sense. Atau apa saja. Saya akan berhasil jika bekerja di bidang penuh rasa. Tipikal advokat yang membela segala hal karena memikirkan rasa, chef yang menakar tanpa melihat resep, pemusik yang  pandai menahan emosi. Sungguh hampir seluruh yang disarankan sudah pernah saya coba lakukan, tapi kurang lebih hasilnya membuat saya trauma.

Kembali lagi, saya tidak tahu hati saya yang sedang ramai oleh bunga-bunga musim semi atau otak saya yang sedang segar. Saya menulis dengan begitu lancarnya. Tidak ada ide yang dikonsep, saya hanya mengatakan apa yang pertama kali muncul di kepala saya, dan ada kamu di sana. Maka sekiranya kamu membaca ini,  bacalah dengan otak kamu yang mereka anggap penuh ide itu. Berpikirlah rasional. Kiranya apa aku masih bisa dikategorikan sebagai yang tahu diri dengan bersikap demikian. Cukup mainkan saya dengan otak kamu. Saya tidak mau ditelanjangi pula oleh hati kamu.

Maksud saya, tidak perlu lah kamu beri saya harapan. Kondisi saya ini cukup mengenaskan. Sedikit saja kamu berbuat baik pada saya, maka akan saya anggap itu perlakuan luar biasa. Seperti steak bagi anak perantauan, atau cocktail bagi musafir di gurun. Bukan sekadar memenuhi kebutuhan saya, tetapi memberi kemewahan. Hal seperti itu yang membuat saya jatuh semakin dalam.

Sebaliknya, kesalahan yang kamu lakukan hanya menghadirkan kesal sesaat. Saya tidak akan banyak berubah. Inilah yang menjadi ralat, objek koreksi yang saya sebut-sebut di awal tadi. Dulu saya pikir saya adalah orang yang mudah menyukai dan mudah membenci. Dulu saya pikir saya hanya gampang menilai orang saja. Mudah memutuskan sesuatu. Tidak kenal ampun. Kesan pertama akan menjadi kunci di otak saya. Lalu setelah menimbang untuk membuka hati atau tidak, kunci itu saya musnahkan. Dan mudah saja membuat kunci yang baru jika sewaktu-waktu kamu melakukan sesuatu yang berkebalikan. Jika awalnya pintu itu telah terbuka, maka akan saya tutup. Jika tertutup maka tidak sulit untuk membukanya. Begitu mudahnya saya dipengaruhi.

Dan izinkan saya mengubah penilaian itu. Ternyata saya cukup setia pada hal yang bodoh. Kesetiaan saya benar-benar tidak tahu diri. Mudah jatuh cinta dan sulit keluar dari jurang itu. Mungkin kamu perlu seribu kesalahan lagi untuk membuat saya pergi. Atau saya perlu mencari sejuta alasan untuk membencimu.

Beginilah ikrar saya. Orang yang akhirnya mampu berikrar, setidaknya demi menghindari munafik kepada diri sendiri.

Yogyakarta, 3 Februari 2017.



Senyum
Tuesday, January 17, 2017 @9:32 AM



            Saat itu, aku menyadari seluruh kepekaan inderaku membuncah, terutama pendengaran. Bukan. Mungkin salah besar jika disebut peningkatan kepekaan. Lebih tepatnya, aku hanya mampu mendengar napas kami yang bertempo, bersahutan satu sama lain. Background off. Hyperacusis. Atau istilah lain untuk menyebut pemosisian sesuatu yang lebih dari seharusnya. Sampai di waktu tertentu, aku terpaksa menahannya demi tidak mendengar peraduan milikku dan miliknya. Karenanya yang paling kubutuhkan adalah suara. Suara apapun yang lebih nyaring daripada embusan napas kami. 
            Pasalnya, selama dua jam terakhir aku dihidupi oleh suara motor matic yang kami tumpangi. Aku bersyukur ia mengendarainya dengan kecepatan di atas normal. Paling tidak gemuruh mesin yang semakin heboh dan rintik hujan yang semakin dahsyat menghujami wajahku dapat menjadi pengalih perhatian utamaku. Tentu saja juga berarti mempersingkat perjalanan kami, menurunkan probabilitas kematianku akibat teralalu lama menahan napas. Kecanggungan dan rasa bersalah di punggungku kian ringan.
            Namun belum genap rasa syukur ini kuhaturkan, mataku seketika membelalak menyaksikan dua digit angka yang tertera di lampu apil. Segmen-segmennya membentuk angka sembilan dan nol. Motor direm, berhenti tepat di belakang garis marka. Bagus. Kami punya waktu untuk mendekatkan diri. Begitulah logika yang tepat.
Tentu saja daripada melihatnya sebagai kesempatan, aku lebih setuju dengan hipotesis bahwa satu setengah menit ke depan mungkin aku akan mati suri. Sungguh aku tidak menyangka bahwa nasib benar-benar tidak di pihakku. 5400 milisekon itu tidak akan menjadi apa-apa jika saja bukan laki-laki ini. Situasi dan orang yang terlibat tidak nyambung. Dan ini pertama kalinya aku diancam waktu dengan tawaran sesadis ini. Aku kehabisan akal. Gemuruh motor, penyambung hidup kami itu, sirna. Dan kini yang bisa kulakukan hanyalah memandangi angka yang berubah setiap detiknya. Berharap dengan demikian kecepatan perubahannya menjadi dua kali atau lebih-lebih tiga kali lebih cepat. Lalu kami akan melanjutkan perjalanan sambil kembali berada dalam lamunan masing-masing.
Hingga sudut mata kiriku menangkap sesuatu yang bergerak heboh. Aku menoleh spontan. Tepat di samping kami, mobil berasupan solar berhenti. Dari celah jendela yang kuduga dibuka sebagai upaya mencegah pengembunan, aku melihat batita menatapku sambil mengusap-usap kaca jendela. Lidahnya dijulur-julurkan khas bocah menyambut gigi sulung. Aku tersenyum, diikuti senyumnya. Ia tampak malu-malu ketika aku melambai, lalu tertawa ketika aku menjuluran lidah, berusaha membuat ekspresi lucu. Jadilah kami berinteraksi dengan bahasa wajah. Tidak biasanya aku disukai anak kecil.
Cukup lama kami berkomunikasi. Di sela-sela aku mengutuk perbuatanku beberapa menit lalu – memakan permen terakhir di kantungku sehingga aku kehilangan kesempatan memberikannya untuk si kecil di hadapanku ini – aku menangkap penampakan di kaca spion motor. Senyum yang sangat manis, yang kusadari merupakan reaksi terhadap perbuatan kami – aku dan anak kecil ini. Mata laki-laki itu menatapku melalui bayangan cermin. Ia sama sekali tidak mencoba menghindari tatapanku saat tertangkap basah. Malah aku yang melakukannya. Aku tidak tahu sejak kapan posisi spion itu berubah sehingga ia bisa melihat  wajahku, dan aku melihat wajahnya. Yang jelas bagiku itulah momen terbaik yang kami miliki selama dua setengah jam perjalanan kami. Dan lampu pun berubah hijau.
Sebenarnya ada pemikiran terkutuk yang sempat terlintas di benakku. Andai saja aku bersama orang lain – siapapun selain orang yang saat ini bersamaku – pastilah akan menambah kenangan bergenre romantis di hidupku. Kami hanya berdua. Setiap yang kami lakukan hampir selalu merepresentasikan perbuatan pasangan muda yang sehat. Segala perbuatanku pertama-tama kuawali dengan memikirkan dampaknya terhadap lelaki itu. Entah ia berpikir sama atau tidak, tetapi aku merasa juga diperlakukan istimewa olehnya. Hanya untuk dua setengah jam hal ini terjadi, sebelum akhirnya aku kembali menjadi upik abu yang hina. Namun secepat akal sehatku kembali, secepat itu pula aku membuang jauh pemikiran yang bagaimanapun terdengar salah itu.
Jujur saja aku ingin menjelaskan lebih banyak lagi tentang senyumnya. Tentang satu giginya yang lebih maju daripada gigi-gigi lainnya sehingga membuatku makin menyukai senyumannya. Tetapi senyum itu mungkin tidak pernah punya arti apa-apa. Jadi biarkan senyum itu menjadi salah satu dari ribuan senyum yang kulihat sebagai basa-basi semata. Tidak pernah ada penjelasan lebih jauh yang mendasarinya.

30 Desember 2016


Hai Intan
Thursday, October 6, 2016 @10:28 PM





Intan, di sini ada ratusan tempat indah. Dari semuanya, mungkin tidak sampai satu persen sudah kukunjungi. Ada banyak alasan. Sayangnya bukan hanya soal keterbatasan waktu dan dana. Itu nomer dua. Padahal kalau itu adalah kota kita, hal tersebut akan menjadi alasan utama.
Setiap kali aku mengetahui suatu tempat, entah itu lewat gambar nyata atau gambaran orang lain, otakku selalu ikut membayangkan. Dan selalu ada orang tuaku, lalu kamu di sana. Aku bukannya berlebihan, tapi memang itu yang terjadi.

Ketakutanku waktu itu ternyata tidak beralasan. Perpisahan kita waktu itu memang kurang meriah, tapi kenyataannya kamu tidak benar-benar memisahkan diri. Kamu ada di mana-mana. Dan itu membuatku bertanya-tanya, apa mungkin keputusan untuk sering melihat satu sama lain dahulu adalah salah. Kita terlalu sering bertemu, sampai hampir setiap hal, memanggil kembali memori tentang kamu. Aku sering tiba-tiba tertawa. Misalnya ketika melihat helm, atau melihat dosen linguistik yang ternyata mirip Pak Wardi, atau hape teman yang retak layarnya. Ada kamu di sana. Dan mungkin itu salah satu dari sedikit momen di mana aku benar-benar tertawa di kota ini.

Aku pikir aku punya kelainan. Sindrom tertawa berlebih yang kita sebut-sebut dulu, kupikir memang benar-benar ada. Tapi ternyata di sini aku berhenti tertawa. Aku lupa kapan terakhir pura-pura tertawa saat di SMA, tapi di sini, hal itu kerap terjadi. Fake personality kian lama kian dahsyat menguasai perilakuku.\

Kelihatannya aku patut menuntut pertanggungjawabanmu atas semua kekacauan ini. Dan juga, maaf ya baru bisa mengucapkan sekarang. Tapi hari ulang tahunmu ini cukup untuk mengacaukan rundown yang sudah susah payah aku desain. Hari Jumat sebagai hari teraturku benar-benar rusak. Acara seminar aku batalkan, apalagi acara cuci baju, hihi.

Semoga kamu tidak merasakan hal yang sama ya Intan, karena ternyata sama sekali bukan perasaan yang patut disyukuri. Selamat ulang tahun yang ke sembilan belas. Terlalu banyak harapan yang selalu punya cacat jika dibahasakan dengan kata-kata. Selalu lakukan yang terbaik di mana pun kamu berada :)
Aku sayang kamu. MUACH.


I'm sorry for blaming you
Friday, September 23, 2016 @8:11 AM




Saya belum tahu mana yang lebih baik. Menjadi yang disalahkan atau yang menyalahkan.
                Butuh waktu lama untuk saya menyadari bahwa yang saya lakukan selama ini hanyalah menyalahkan. Padahal hampir setiap saat saya berpikir, setiap makhluk tak pernah mau disalahkan. Mereka ingin setiap ucapannya dianggap benar, perbuatannya dianggap tepat, bahkan pengakuan atas kesalahannya ingin dianggap sebagai keputusan brilian. Sekali lagi, ternyata selama ini saya adalah pihak yang menyalahkan.
                Cukup banyak kesalahan yang saya artikan sebagai kesalahamu. Sungguh, saya minta maaf. Dan saya mau permintaan maaf saya dianggap hal baik olehmu. Saya terlalu lama terkekang dalam kemunafikan yang katanya dipelihara lebih dari separuh manusia di bumi. Apa daya, saya termasuk mayoritas yang seharusnya tidak diasingkan.
                Ngomong-ngomong soal asing, mungkin hanya saya yang memikirkan hal ini secara berlebihan. Saya kurang lebih berbasis sastra (Maaf, apabila ada yang tersinggung), maka maklumi pemikiran saya yang terlalu sensitif ini. Padahal kamu sudah lama lupa tentang hal konyol yang demikian. Tapi sedikit pun tidak hilang dari otak saya, soal dunia kamu yang bagi otak saya sungguh luas itu. Mata saya menemukan kamu bahkan pada guratan merah di pipi teman saya. Tapi bukan ini yang terpenting.
                Kembali soal menyalahkan. Saya terus terusik dengan keberadaanmu. Saya benci senyum kamu yang ternyata menyebar nyaman. Atau mata kamu yang memancarkan tenang. Dan parfum kamu yang ternyata menyeruakkan kangen. Maaf sekali lagi, ini sungguh berlebihan. Tapi memang itu yang terjadi. Hampir setiap malam saya repot-repot mengeluarkan kamu dari pikiran karena terlalu jijik. Fobia. Petaka.
                Tapi apa kamu tahu butuh berapa lama untuk Tuhan merubah presepsi seseorang? Saya benci perasaan campur aduk yang selalu hilang identitasnya hanya dalam sepersekian detik. Saya menyukai saya yang membenci kamu. Tapi Tuhan memberikan waktu untuk saya bertemu dengan perasaan itu tak kurang dari satu tahun. Maha besar Ia hingga lima tahun terakhir saya tersiksa dengan kutukan saya untukmu.
                Ketika menurut pengakuan kamu, kamu tidak lagi mencoba untuk mengusikku, kenapa kamu malah membuat saya terjungkal? Saya benci karena telah sadar, bahwa tidak sedikit pun kesalahan ada pada kamu. Tidak juga pada perasaan saya. Tapi pada keputusan saya.



Mungkin Aku Hanya Berdelusi
Saturday, April 16, 2016 @2:41 AM



Malam itu, kupikir akan menyenangkan. Tawa akan hadir terlalu banyak, perut akan terlalu penuh, dan waktu akan berlalu terlalu cepat. Kupikir akan seperti itu.
Maka aku menolak dengan halus. Ada sebagian dari diriku yang tidak pernah kusangka akan merasa lelah dan ingin diam saja. Mungkin bukan karena aku tidak jenuh. Lebih pada rasa bersalah pada mereka yang turut berjuang, tapi tidak menikmati apa-apa. Karenanya, kuanggap ini bukan waktu yang tepat. Mungkin tidak sekarang. Dan syukurlah, semua aspek memilih bertahan pada egonya, bahkan kucing dengan mata berbinar-binarnya. Aku tertawa teringat adegan di salah satu film tentang oger hijau buruk rupa dan putri cantik di kastil mewah.
Tapi seperti yang kukatakan tadi, semua aspek bertahan pada egonya, termasuk aku. Pada akhirnya aku sampai juga pada momen yang kupikir akan kutunggu-tunggu karena aku terlalu muak dengan angka dan kalimat teoritis. Kau tahu, tidak ada yang lebih menyenangkan daripada menikmati hasil yang selama ini telah kita perjuangkan.
Lucunya, perkiraanku tidak seakurat itu. Di sana tawa tidak sesering itu terdengar. Perutku penuh, sangat penuh. Tapi saat memenuhinya, aku masih sempat menakar. Dan waktu yang berlalu.. Kuakui memang cukup cepat berlalu.
Daripada tawa, yang paling melekat di memoriku adalah air mata. Setelah tertawa cukup lama, kami malah menangis sejadi-jadinya. Entah menangisi apa. Aku sendiri tidak merasa pantas melakukan itu. Apa yang kurasakan pada saat itu pun juga tidak benar-benar kuingat. Hanya saja momen membawa perasaan kita pada titik semrawut. Entah bagaimana perasaanku saat itu, yang jelas aku bukannya sedih atau pun senang. Dan pikiranku melalang buana hingga ke detail terkecil. Bukan ke tempat yang lebih jauh, melainkan mengerucut pada hal yang selama ini tidak kusadari.

Teman, pertanyaan sebenarnya adalah : Apa aku pantas memiliki perasaan yang demikian?
Aku merasa Tuhan terlalu baik padaku. Tuhan memberiku kemampuan merasakan senang - di waktu yang bagimu salah - hingga aku merasa memiliki. Membuatku seolah salah paham dan tidak sadar akan porsiku.
Karenanya aku sampai pada kesimpulan bahwa dibalik seluruh fakta yang ada, mungkin aku hanya berdelusi hingga tidak sedikit pun aku menyesal. Di matamu mungkin tindakanku terlihat bodoh. Tapi kau tahu, bukan aku yang mengatur perasaanku. Aku tidak punya kuasa akan hal itu. Dan aku mencoba untuk mengikuti arus yang ada, tanpa pernah mengutuk, apa lagi melawan perasaan. Lagi pula apabila semua ini hanya soal timing, ingatlah jarum jam tidak diam di tempat. Suatu saat waktu sebagai alat Tuhan, akan membawa kita pada hal  yang benar.


Mistar Mimpi
Saturday, March 5, 2016 @9:51 AM



Dari apa yang telah terjadi, saya dapat menyimpulkan sesuatu : Semua manusia adalah pemimpi.
Yang membedakan hanyalah seberapa besar keinginan seseorang untuk mempertahankan mimpi itu. Tidak perlu munafik. Saya tahu kini mimpi punya ukuran. Tidak lagi relatif seperti yang dulu digembor-gemborkan para motivator. Karena kini ada yang disebut anggapan banyak orang. Yang menjadi mistar bagi mimpi. Tapi bukan bagi pemimpi. Tantangan bagi pemimpi besar.

Mimpi saya bukan mimpi besar. Tapi saya cukup percaya diri dengan mimpi itu.
Kenapa kita harus mempedulikan anggapan orang yang tidak selalu benar? Karena hati kecil kita diam-diam berkata "Memang hal itu tidak sepenuhnya salah". Kemudian pemimpi itu menelan ludah, mencegah tangisnya pecah.
Saat hal itu terjadi, apa berarti pemimpi itu kehilangan kata 'besar' dalam gelarnya? Saya rasa tidak juga. Paling tidak dia tahu ia sedang bertindak bodoh dengan berpikir demikian. Hanya saja, untuk saat ini ia harus terlebih dahulu menunda perwujudan mimpinya.

Saya telah banyak ditertawakan. Saya bukannya jera karena itu. Saya rela jika memang ditertawakan bisa membuat mimpi saya terwujud. Masalahnya kini adalah, saya serakah. Dan tidak ada yang perlu disalahkan atas keadaan ini. Dunia ini fana, pemikiran kita tidak dapat lepas dari hal-hal fana.

Tapi tekad saya bulat. Saya tidak akan lari kemana-mana, melainkan pulang ke dunia saya.


+ Follow

▼▼▼
幸せはすぐそばにあります。
Happiness is just around the corner.
Previous //